Rabu, Januari 28, 2009

Mencari Kebenaran Tentang Konsep Manusia

Berbagai pandangan tentang eksistensi manusia dalam sistem berbangsa dan bernegara belakangan ini sudah mulai kehilangan pijakan. Awal tahun 2009 salah satu tragedi kemanusiaan terjadi di Palestina. Kritikan dan kecaman bertubi-tubi di alamatkan pada negara yang durjana. Nilai-nilai kemanusiaan seakan tidak berharga di moncong senjata tentara Israel. Motif mencari kebenaran merupakan mata rantai filsafat yang kerap kali memunculkan kepalsuan (falsity) dari nilai-nilai kebenaran manusia itu sendiri. Perjalanan panjang pencarian jati diri mengenai konsep manusia yang benar dan utuh selalu menimbulkan hal-hal yang bertentangan sehingga kebenaran hanya akan menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge).

Konsep Manusia Menurut Karl Marx

Konsep manusia Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis yang didengung-dengungkan Karl Marx (1818-1883) pada abad ke-19 merupakan awal dari munculnya perdebatan tentang konsep manusia yang sesungguhnya. Awalnya filsafat Marx berakar dari tradisi filsafat humanis barat yang esensinya terletak pada kepeduliannya terhadap manusia dan kesadaran akan potensi yang dimiliki manusia. Namun, tradisi itu mulai berubah sejak abad ke-20.

Erich Fromm (1990-1980) dalam bukunya yang berjudul Marx’s Concept of Man menuturkan filsafat Marx adalah sebuah proses yang diilhami oleh keyakinan pada manusia, pada kemampuan manusia untuk membebaskan dirinya dan untuk menyadari potensialitasnya. Keyakinan ini merupakan ciri pemikiran Marx yang juga mencirikan pemikiran barat, dan yang kini menjadi berbeda dan sangat ganjil.

Pandangan Marx yang tentang proses menentang alienasi manusia, hilangnya jati diri manusia, dan perubahan manusia menjadi benda memang telah lama terkubur. Namun, filsafat Marx yang melawan dehumanisasi dan otomatisasi manusia yang ‘brutal’ tersebut bisa dijadikan corong untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan kapitalisme yang dipelopori oleh negara barat. Kapitalisme barat telah menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan yang dengan pemberian citra buruk (stigmanisasi) kepada musuh yang menghalanginya.

Praktek yang nyata dari busuknya dogmatisme barat adalah menjadikan Negara Islam sebagai kambing hitam atas aksi-aksi terorisme yang terjadi. Selain itu dogmatisme negara sekuler seperti Israel terus berlanjut dengan membumihanguskan Negara Palestina. Suatu tindakan yang diluar batas nalar dan akal sehat manusia. Akibat agresi Israel, lebih dari 1.330 orang tewas dan 5.300 orang terluka dalam 23 hari serangan Israel ke Gaza (Kompas, 23/01/09). Hal ini merupakan pelanggaran hak-hak azazi manusia yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Kekejaman, kekerasan, perang, dan penindasan tidak serta merta dapat menghasilkan sesuatu kebenaran yang sejati. Perlu suatu kesadaran pikiran yang nyata dalam mencari kebenaran tersebut.

Kesadaran ‘Palsu’

Penciptaan gagasan, ide, konsepsi, tindakan dan kesadaran pada mulanya terjalin langsung dengan aktivitas pikiran antara sesama manusia dan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan nyata. Berbicara kesadaran manusia Sigmund Freud berpendapat bahwa apa yang dipikirkan manusia secara sadar adalah ‘kesadaran palsu’, yaitu ideologi dan rasionalisasi.

Lebih lanjut Freud menjelaskan bahwa dorongan utama perilaku manusia yang sebenarnya tidaklah disadari dan dorongan tersebut berakar pada dorongan libidinal manusia. Pendapat Freud diatas sangatlah mengelitik kita karena sangat bertentangan dengan teori Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang mengangap suatu kesadaran manusia merupakan sebuah kemungkinan nyata (a real possibility).

Maka sejatinya apa yang dipikirkan manusia dan apa yang menjadi kesadaran tiap manusia tentang arti sebuah kebenaran patutnya ditransformasikan menjadi kesadaran sejati. Kita harus menyadari kebenaran sebuah realitas bukan mendistorsinya dengan rasionalisasi dan fiksi. Kemampuan menyadari realitas menjadi dasar bagi kita untuk sadar akan kebutuhan-kebutuhan yang nyata dalam mendefinisikan arti kemanusiaan.

Konsep humanisme yang diusung negara barat telah membimbing kita pada salah satu konsep yang paling banyak mengundang perdebatan. Usaha mencari kebenaran tentang konsep dasar manusia telah menetaskan konsep baru yaitu konsep kekuatan (concept of force). Konsep kekuatan yang disini bisa berati pikiran, ideologi maupun senjata perang. Jadi dengan concept of force yang dimiliki sebuah negara maka hukum rimba pun akan berlaku, ‘siapa yang kuat dialah yang menang’.

Sejatinya memang tidak ada kebenaran yang mutlak tentang kebenaran eksistensial manusia. Namun, dengan ilmu dan pikiran yang kita miliki seyogyanya kita dapat memilah dan memilih salah satu konsep manusia beradab. Walaupun tidak merupakan kebenaran yang hakiki paling tidak bisa mendekati kebenaran yang sejati. Mungkin tidak ada salahnya jika kita mulai memikirkan konsep manusia menurut Marx. Konsep manusia yang memberikan kebebasan dalam menentukan hidup dengan potensi yang dimilikinya tanpa harus mengejewantahkan nilai-nilai kemanusiaan. Konsep yang merindukan nilai kebebasan manusia sebagai ciptaan tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar